Selasa, 12 Maret 2013

CAMEL Bukan Seekor UNTA


Mendengar kata camel mungkin akan membuat kita mengira seekor unta. Secara bahasa memang benar camel ( dalam bahasa Inggris) berarti unta ( dalam bahasa Indonesia). Namun, beda penempatan beda pula artinya. Camel dalam dunia perbankan dikenal sebagai suatu istilah yang digunakan untuk mengukur kinerja bank umum yang lebih komprehensif yang mencakup seluruh aspek yang penting dalam evaluasi kesehatan kinerja bank umum. Adapun  kepanjangan CAMEL itu sendiri adalah,

C =  Capital Adequacy ( tingkat kecukupan modal )
A = Assets Quality ( kualitas aktiva )
M = Management Quality ( kualitas manjemen )
E = Earnings ( kemampuan mengendalikan pendapatan )
L = Liquidity ( tingkat likuiditas )

Di Indonesia penggunaan metode CAMEL untuk evaluasi kinerja bank umum sudah diterapkan. Bahkan CAMEL juga diterapkan untuk mengevluasi kinerja Bank Pengkreditan Rakyat. Dengan menggunakan metode CAMEL, BI sebagai bank sentral Republik Indonesia melakukan evaluasi kesehatan bank umum dengan pendekatan kualitatif atas berbagai apek yang berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan suatu bank, yang meliputi aspek Permodalan, Kualitas Aktiva Produksi, Manajemen, Rentabilitas, dan Likuiditas (CAMEL).
Berikut ini merupakan table yang menampilka  ketentuan Bank Indonesia tentang penilaian kesehatan bank umum berdasarkan sistem CAMEL.
Faktor CAMEL
Bobot (%)
Permodalan
26
Kualitas aktiva produktif
30
Kualitas manajemen
26
Rentabilitas
10
Likuiditas
10

Dari table diatas, BI memberikan penekanan yang sangat besar pada aspek kualitas aktiva produktif, permodalan, dan kualitas manajemen. Berdasarkan pembobotan diatas, akan dihasilkan nilai komposit ( nilai CAMEL ) yang menunjukkan peringkat kesehatan bank umum.
Nilai Kredit
Prediksi
81- 100
Sehat
66 - < 81
Cukup sehat
51 - < 66
Kurang sehat
0 - 51
Tidak sehat

sumber :

Manurung, Mandala, dan Rahardja, Prathama. 2004. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Peran 3 Rasio Dalam Likuiditas BPR


Selama ini kita mengetahui bahwa ada dua aspek penting yang perlu diperhatikan dalam analisis kinerja perbankan, yakni profitabilitas dan likuiditas. Profitabilitas mencerminkan seberapa besar kemampuan perusahaan dalam mencetak keuntungan. Sedangkan likuiditas mencerminkan kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban kepada nasabah, khususnya penarikan uang tunai dari deposito dan tabungan masyarakat. Ukuran profitablitas umumnya digunakan rasio ROA, ROE, dan NIM. Sedangkan ukuran likuiditas yang paling sering dan mudah digunakan adalah capital adequacy ratio ( CAR ). Kali ini saya akan mencoba membahas mengenai ukuran likuiditas suatu perbankan. Ukuran suatu likuiditas suatu bank pada umumnya diukur dengan menghitung rasio CAR nya, namun terdapat dua perhitungan lain yang ikut mendukung ukuran likuiditas suatu bank khusunya dalam pengkreditan rakyat. Dua perhitungan itu yakni Cash Ratio dan Loan to Deposit Ratio.
a)      Capital Adequacy Ratio ( CAR )
Telah diuraikan sebelumnya bahwa CAR merupakan ukuran yang paling umum digunakan untuk menilai likuiditas sebuah bank. CAR sangat umum digunakan karena cara menghitungnya relatif mudah.

CAR = Modal disetor /  Total aktiva

Dari persamaan tersebut, angka CAR akan semakin tinggi bila tingkat pertambahan modal disetor lebih tinggi dari tingkat pertambahan aktiva. Dapat dikatakan bahwa bila angka CAR makin tinggi menunjukkan bank semakin likuid.

b)      Rasio Alat Likuid Terhadap Utang Lancar ( Cash Ratio )
Ukuran berikutnya tentang likuiditas BPR adalah rasio alat likuid terhadap utang lancar ( cash ratio ), yang dihitungn dengan menggunakan formula,

Cash Ratio = Alat Likuid / Utang Lancar

Alat likuid diatas mencakup kas dan penanaman pada bank lain dalam bentuk giro dan tabungan dikurangi dengan tabungan bank lain pada BPR yang bersangkutan. Apabila tabungan antarbank aktiva dikurangi tabungan tabungan antarbank pasiva, hasilnya negatif, maka dihitung sama dengan nol. Sedangkan utang lancar mencakup penjumlahan dari kewajiban segera, tabungan, dan deposito.

c)      Rasio Kredit Yang Diberikan Terhadap Dana Pihak Ketiga ( Loan to Deposit Ratio )
Loan to Deposit Ratio (LDR ) adalah rasio antara jumlah kredit yang disalurkan dengan dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun BPR.

LDR = Total kredit yang diberikan /  Dana yang diterima

Dana pihak ketiga  ( LDR)  yang diperhitungkan dalam analisi LDR adalah tabungan, deposito, pinjaman, atau deposito yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan, modal inti, dan modal pinjaman.

sumber :
Manurung, Mandala, dan Rahardja, Prathama. 2004. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Lembaga Pembiayaan Anjak Piutang


Tentu bukan hal yang asing bagi teman-teman ekonomi khususnya, mendengar istilah anjak piutang. Pada tulisan kali ini, saya berniat untuk mengulas pengertian sampai jeni-jenis anjak piutang yang diketahui saat ini. Sampai sekarang masih terdapat perbedaan tentang definisi anjak piutang dikalangan ahli maupun pelaku bisnis keuangan. Namun, di Indonesia sendiri anjak piutang didefinisikan sebagai perusahaan yang melakukan kegiatan pembiyaan dalam bentuk pembelian atau penagihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
Prinsip dasar operasional perusahaan anjak piutang adalah dengan memberikan bentuk pelayanan khusus kepada perusahaan yang mengalami kesulitan dalam penagihan piutang dan atau ingin mendapatkan cara yang lebih mudah dan pasti dalam pengelolaan piutang. Jasa yang ditawarkan perusahaan anjak piutang adalah dengan mengambil alih tanggung jawab pengelolaan piutang nasabah. Cara yang ditawarkan oleh perusahaan anjak piutang adalah membeli piutang nasabah atau mengambil alih pengelolaan piutang nasabah.
Pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas anjak piutang adalah nasabah, perusahaan anjak piutang, dan debitur.
a)      Nasabah ( kreditur)
Nasabah atau kreditur adalah perusahaan yang menyerahkan piutangnya kepada perusahaan anjak piutang untuk dikelola atau ditagih. Pertimbangan utama nasabah menggunakan jasa anjak piutang adalah kemudahan dan kepastian mendapatkan uang dari piutang dibandingkan bila ditangani sendiri.

b)      Perusahaan Anjak Piutang
Perusahaan anjak piutang adalah perusahaan yang akan mengambil alih piutang kreditur dengan cara membeli secara diskon atau mengelolanya dengan mendapatkan fee.

c)      Debitur
Adalah pihak yang memiliki hutang kepada kreditur. Dengan diserahkan kepada hak pengelolaan piutang kepada perusahaan anjak piutang, maka penyelesaian masalah piutang ditangani oleh perusahaan anjak piutang dan kreditur tidak perlu berurusan lagi dengan debitur.
Jenis-jenis dari anjak piutang yang ditawarkan dalam hal penagihan dan atau pengelolaan piutang nasabah ada beberapa macam, diantaranya :
-) Dengan Pemberitahuan
Fasilitas yang diberikan perusahaan anjak piutang dalam penagihan piutangnya dengan sepengetahuan nasabah.
-) Tanpa Pemberitahuan
Fasilitas yang diberikan perusahaan anjak piutang dalam penagihannya tidak perlu atas sepengetahuan nasabahnya.
-) Dengan Menggunakan Risiko
Apabila debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka resiko kredit tersebut menjadi tanggung jawab kreditur.
-) Tanpa Menggunkan Risiko
Semua risiko yang harus ditanggung dalam penagihan piutang menjadi tanggung jawab perusahaan anjak piutang.
Sedangkan jasa-jasa yang diberikan oleh perusahaan anjak piutang adalah :
a)      Jasa Pembiyaan
Perusahaan anjak piutang melakukan pembayaran dimuka kepada nasabah. Kontrak perjanjian dapat berbentuk risiko atau tanpa risiko. Keputusan kontrak mana yang dipilih dengan atau tanpa risiko, tergantung dari kualitas piutang.
b)      Jasa Non Pembiyaan
Jasa yang diberikan pada non pembiyaan mencakup beberapa hal, yakni
-          Analisis kelayakan piutang
-          Administrasi piutang
-          Pengawasan dan pengendalian piutang
-          Perlindungan atas risiko kredit
Jasa-jasa non pembiyaan tersebut sangat meringankan pekerjaan perusahaan nasabah, karena mereka tidak memerlukan lagi divisi khusus yang menangani piutang.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perusahaan anjak piutang merupakan perusahaan yang membantu perusahaan lain yang memiliki piutang untuk ditangani dengan cara ditagih atau dengan cara dibeli oleh perusahaan anjak piutang itu sendiri. Jenis- jenis anjak piutang mana yang dipilih, hal tersebut tergantung dari kebutuhan kreditur mana yang lebih baik. Sesungguhnya dengan adanya perusahaan anjak piutang dapat meringankan perkerjaan kreditur untuk menagih piutangnya kepada debitur.
Semoga tulisan kali ini bermanfaat untuk teman-teman sekalian, dan dapat menambah ilmu pengetahuan. Mohon tinggalkan jika ada kritik dan saran. Terima kasih J !!!

sumber :
Manurung, Mandala, dan Rahardja, Prathama. 2004. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Manajemen Likuiditas


Sampai saat ini bank umum masih merupakan lembaga keuangan terpenting dan terbesar. Karenanya industri perbankan yang sehat sangat menopang perekonomian nasional. Tulisan saya kali ini akan membahas manajemen likuiditas pada industri perbankan. Pengelolaan bank yang baik maka akan menghasilkan laba yang maksimal tanpa melanggar ketentuan-ketentuan perbankan.

Likuiditas bank mengacu pada kemampuan bank menyediakan dana dalam jumlah yang cukup, tepat waktunya untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya. Namun hal yang lebih utama adalah,
1)      Memenuhi ketentuan pemerintah dan atau bank sentral tentang ketentuan likuiditas.
2)      Memilihara hubungan baik dengan bank koresponden, dengan megusahakan agar saldo rekening pada bank koresponden selalu sesuai dengan yang dibutuhkan,
3)      Memenuhi kebutuhan penarikan dana oleh nasabah penabung, pemilik rekening giro maupun  debitur.
4)      Membayar kewajiban jangka panjang yang telah jatuh tempo.

Sebuah bank dikatakan likuid bila aset yang dimilikinya dapat dirubah menjadi uang tunai dalam tempo relative cepat, dengan resiko yang kecil, dan tanpa biaya transaksi yang besar. Selain dilihat dari sisi asetnya, likuiditas bank juga dinilai dari kemampuan bank memperoleh dana yang dibutuhkan dengan cepat dari sumber-sumber lain. Dengan demikian, tingkat likuiditas bank bukan hanya ditentukan oleh jumlah dan kualitas aktiva, tapi juga tingkat kepercayaan terhadap bank tersebut.
Bila ingin meningkatkan likuiditasnya, sebaiknya bank mengurangi aktiva dalam bentuk kredit dan menyimpan instrument pasar yang relative aman, terlebih paling utama adalah yang diterbitkan oleh pemerintah. Tetapi, bila jumlah kredit berkurang, bank akan kekurangan kemampuan menghasilkan keuntungan karena berkurannya  penghasilan dari pendapatan bunga.
Faktor-faktor penentu kebutuhan likuiditas
Perilaku penarikan dana oleh nasabah, sifat dan jenis sumber dana, serta aktiva kredit, menentukan tingkat kebutuhan likuiditas.

a)      Perilaku penarikan dana oleh nasabah
Perilaku penarikan oleh nasabah ditentukan dengan berbagai hal, antara lain dapat memprediksi dengan cukup akurat, agak akurat, tetapi ada juga yang sulit untuk diprediksi.

Penarikan dana yang dapat diprediksi dengan cukup akurat antara lain adalah penarikan dana oleh debitur sesuai dengan jadwal yang disepakati, pembayaran utang yang telah diketahui jatuh temponya, dan deposito berjangka.

Penarikan dana yang agak akurat antara lain adalah dana-dana yang dibutuhkan untuk transaksi seperti rekening, giro, penarikan dana tunai oleh para deposan. Penarikan ini berkaitan dengan siklus ekonomi atau dunia usaha. Ada siklus yang bersifat jangka pendek ( musiman ) misalnya siklus akhir tahun, awal tahun, musim liburan, musim panen, musim paceklik. Ada juga siklus yang intervalnya beberapa tahun sampai belasan tahun.

Penarikan dana yang sangat sulit untuk diprediksi adalah yang disebabkan faktor-faktor yang diluar kendali manajemen bank dan sangat terjadi. Misalnya gempa bumi, bencana banjir, wabah penyakit, perang, dan masalah perkembangan politik-ekonomi.

b)      Sifat dan jenis sumber dana yang dikelola

Bank –bank yang memiliki sumber dana dan modal sendiri yang relative besar, akan lebih mudah memperkirakan kebutuhan likuiditasnya. Mengingat biaya ekonomi dari pinjaman dan modal yang cukup besar, maka bank tidak dapat menghindarkan diri dari memanfaatkan sumber dana yang sebenarnya relative memiliki tingkat perputaran yang tinggi, yaitu rekening giro, tabungan, dan deposito. Namun, makin besar porsi sumber dana tradisional makin sulit pula prediksi tentang kebutuhan likuiditas. Kadang-kadang ada baiknya bila penyediaan likuiditas lebih besar dari proyeksi kebutuhan. Hanya saja, jika penyediannya terlalu besar, bank akan mengalami kerugian karena adanya dana yang kurang produktif.

c)       Aktiva kredit

Makin beragam kredit yang disalurkan oleh bank  ( misalnya dilihat dari sektor dan penggunaanya ) makin besar pula kebutuhan likuiditasnya. Untuk mengatasi hal ini, bank dapat meningkatkan homogenitas kredit dengan menentapkan prioritas atau melakukan spesialisasi. Kualitas kredit juga menentukan tingkat kebutuhan  likuiditas. Bank-bank dengan kredit lancar, jelas lebih mudah mengelola likuiditasnya dibandingkan dengan bank yang memiliki kredit bermasalah. Kredit bermasalah bukan saja dapat menyebabkan bank kehilangan pendapatan, tetapi bank juga harus menambahkan dana untuk menyelamatkan aktiva kreditnya. Selain itu kredit bermasalah juga membuat bank semakin sulit memprediksi kebutuhan likuiditas dan semakin banyak rencana yang harus direvisi.

Dari uraian diatas, saya mencoba untuk menarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan likuiditas bank antara lain ada tiga  hal, yakni perilaku penarikan dana oleh nasabah, sifat dan jenis sumber dana yang dikelola, serta aktiva kredit. Selain dari sisi asetnya, likuiditas bank juga dapat dinilai dari kemampuan bank untuk memperoleh dana dengan cepat dari sumber-sumber lainnya. Dengan demikian, tingkat likuiditas bank tidak hanya dinilai dari jumlah dan kualitas aktiva, tetapi juga tingkat kepercayaan terhadap bank tersebut.
Kalau membahas tentang dunia perbankan tidak akan pernah habis-habisnya, oleh karena itu sekian dulu tulisan saya kali ini dan semoga bermanfaat. Terima kasih J !!!

sumber :
Manurung, Mandala, dan Rahardja, Prathama. 2004. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Kamis, 07 Maret 2013

BAGAIMANA HUBUNGAN ANTARA ROA & ROE ?



Dalam sebuah pelaporan keuangan perbankan selain memuat berbagai macam jurnal dan neraca, biasanya disertai juga berbagai rasio keuangan untuk mengetahui kesehatan bank secara umum. Rasio keuangan yang biasa digunakan dalam analisis kinerja keuangan perbankan antara lain Rasio Pinjaman terhadap Tabungan (RPT), kredit macet, Pengembalian Aset (PA), Pengembalian Ekuitas (PE), Biaya Operasional/Pendapatan Operasional (BOPO), dan Rasio Tabungan terhadap Aset (RTA). Dalam tulisan kali ini, saya akan membahas lebih spesifik hubungan antara Pengembalian Aset ( PA )  dan Pengembalian Ekuitas ( PE ) atau dalam istilah universalnya adalah Retrun On Assets ( ROA ) dan Return On Equity ( ROE ).
Pertama, apakah yang dimaksud dengan ROA dan ROE itu sendiri? ROA merupakan angka yang menunjukkan berapa besar relative laba bersih ( setelah pajak ) terhadap total aktiva. Dimana ROA  sama dengan,         (Net Income )/(Total Assets)

Jadi jika suatu perusahaan mempunyai ROA yang tinggi maka perusahaan tersebut berpeluang besar dalam meningkatkan pertumbuhan. Tetapi jika total aktiva yang digunakan perusahaan tidak memberikan laba maka perusahaan akan mengalami kerugian dan akan menghambat pertumbuhan.
Sedangkan ROE merupakan rasio yang menunjukkan berapa persen laba bersih setelah pajak terhadap ekuitas (modal). Dimana ROE sama dengan,   (Net Income )/(Total Equity)

Perbedaan perhitungan ROA dengan ROE adalah pada angka pembaginya saja. ROE merupakan indikator penting bagi pemilik bank, karena menunjukkan tingkat pengembalian modal atau investasi yang ditanamkan dalam industri perbankan. Angka ROE yang semakin tinggi memberikan indikasi bagi para pemegang saham bahwa tingkat pengembalian investasi di sektor perbankan makin tinggi. Angka ROE yang tinggi akan menarik para pemegang saham untuk menambah modal. Tetapi angka ROE yang tinggi pada tingkat industri, akan mengundang investor baru untuk memasuki bisnis perbankan.
Berdasarkan formula penghitungannya, dapat ditunjukkan adanya hubungan antara ROE dan ROA sebagai mana diuraikan di bawah ini.

ROA = ( laba bersih setelah pajak ) / ( total aktiva )


ROE = ( laba bersih setelah pajak ) / ( total ekuitas )

ROE = ( laba bersih setelah pajak ) / ( total aktiva ) > ( total aktiva ) / ( ekuitas )

ROE > EM
Dimana EM adalah angka pengganda ekuitas ( equity multiplier )
EM = ( total aktiva ) / ( ekuitas )

Angka EM menunjukkan perbandingan antara total aktiva dengan total ekuitas. Makin besar angka EM maka komponen sumber dana dalam bentuk modal sendiri untuk membiayai aktiva semakin kecil. Jika ingin meningkatkan profitabilitas ( ROE dan ROA semakin besar ), maka bank mengalami penurunan dalam hal likuiditas karena angka EM makin besar yakni, yang berarti kewajiban bank semakin meningkat.

Sumber :
Manurung, Mandala, dan Rahardja, Prathama. 2004. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Jurnal “ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL PERIODE 2003-2007”. Imam Subaweh. 2008.

Minggu, 03 Maret 2013

SEJARAH PERBANKAN SYARIAH



Perbankan syariah kini telah menjadi salah satu model keberhasilan transformasi dalam industri perbankan. Dengan berlandaskan pada syariat Islam, produk-produk perbankan syariah pun dianggap telah dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan ajaran agama Islam. Kali ini, saya akan membahas sekelumit tentang sejarah perbankan syariah dari masa ke masa. Sebenarnya aktivitas perbankan telah dimulai semenjak zaman Rasulullah saw, walaupun saat itu belum terdapat institusi bank namun ajaran islam telah memberikan prinsip-prinsip dan filosofi dasar yang dijadikan pedoman dalam aktivitas perdagangan serta perekonomian.

Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, antara lain menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Menurut pedoman dalam syariat islam, perekonomian yang dilakukan sesuai dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi tradisi umat Islam sejak zaman Rasulullah saw. Rasulullah saw yang dikenal  dengan julukan al-amin, dipercaya oleh masyarakat Mekkah saat itu untuk menerima simpanan harta, sehingga pada saat terkahir sebelum hijrah ke Madinah, ia meminta Ali bin Abi Thalib, untuk mengembalikan semua titipan itu kepada para pemiliknya. Dalam konsep ini pehak yang dititipi tidak medapatkan manfaat dari harta titipan.
Sedangkan pada zaman Abbasiyah, fungsi-fungsi perbankan telah dikenal dan dilakukan oleh satu individu. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khususu untuk membedakan antara satu mata uang dengan mata uang yang lainnya. Kemajuan praktik perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya saq ( cek ) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan, peranan banker telah meliputi tiga hal, yaitu :
·               Menerima deposit
·               Menyalurkan dana
·               Mentransfer uang
Selanjutnya, perkembangan ini merambah hingga ke benua Eropa. Dalam perkembangan berikutnya, kegiatan yang dilakukan oleh perorangan (jihbiz) kemudian dilakukan oleh institusi yang saat ini dikenal sebagai bank. Ketika bangsa Eropa mulai menjalankan  praktik perbankan, persoalan mulai timbul karena transaksi yang dilakukan menggunakan instrument bunga yang dalam pandangan fiqih adalah riba, dan oleh karenanya haram. Transaksi berbasis bunga ini semakin merebak ketika Raja Henry VIII pada tahun 1545 membolehkan bungan (interest) meskipun tetap mengharamkan riba (usury) dengan syarat bunganya tidak boleh berlipat ganda (excessive). Pada saat peradaban muslim mengalami kemerosotan dan Negara-negara Muslim satu per satu jatuh kedalam cengkraman penjajahan bangsa-bangsa eropa. Akibatnya, intitusi-institusi perekonomian umat Isalm runtuh dan digantikan oleh institusi ekonomi bangsa eropa yang notabane berbasis bunga. 
Oleh karena bunga secara fiqih dikategorikan riba yang berarti haram, di sejumlah negara Islam dan berpenduduk mayoritas Muslim mulai timbul usaha-usaha untuk mendirikan lembaga bank alternatif non-ribawi. Hal ini terjadi terutama setelah bangsa-bangsa Muslim memperoleh kemerdekaannya dari para penjajah bangsa Eropa. Kini, perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menyebar ke banyak negara, bahkan ke Negara-negara barat. The Islamic Bank Internatioal of Denmark tercatat sebagai bank syariah pertama yang beroperasi di eropa, yakni padatahun 1983 di Denmark.
Di Indonesia sendiri perkembangan perbankan syariah dimulai semenjak tahun 1992 ketika didirikan lembaga keuangan perbankan syariah pertama yang bernama Bank Muamalat Indonesia (BMI). Walaupun perkembangannya agak terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya, namun perbankan syariah di Indonesia akan terus berkembang. Terbukti dengan adanya peningkatan total aset pada bulan Agustus tahun lalu yaitu sebesar Rp 161,5 triliun meningkat dari tahun 2011 yang berkisar sekitar Rp 131 triliun. Bukan hal yang mustahil jika suatu saat nanti perkembangan industri perbankan syariah bisa menyaingi perbankan konvensional. Dengan adanya manjemen dan kinerja yang bagus serta kreatif maka bisa saja hal tersebut dapat terwujud dengan segera. Begitulah kurang lebih sejarah perkembangan syariah yang saya baca dari sebuah tulisan. Semoga bermanfaat bagi rekan-rekan sekalian. Dan jika ada kritik atau saran silahkan kirim komentar. Terima kasih banyak !!! :)

sumber :
 http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah (01-03-13)
http://www.banksyariah.net/2012/11/sejarah-bank-syariah.html (01-03-13)



Produk – produk Perbankan Syariah yang Berbasis Islam



Pada pertemuan mata kuliah Bank dan Lembaga Keuangan minggu ke-dua, saya tertarik untuk mengenal lebih jauh mengenai berbagai produk-produk yang di sediakan dalam suatu bank yang berbasis syariah. Memang sebagian besar, banyak menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Arab sehingga saat pertama kali membacanya saya sangat bingung, ditambah istilah yang digunakan cukup asing di telinga saya. Untuk memahami lebih lanjut mengenai berbagai macam produk perbankan syariah tersebut, saya pun mengambil ringkasannya dari sebuah sumber di internet. Setidaknya, dengan adanya tulisan ini dapat membantu teman-teman untuk bisa memahami dan mengerti apa saja bentuk produk perbankan syariah yang ada di Indonesia khusunya.
1)    Titipan atau simpanan


  • ·         Al-Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah, Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan untuk memberikan bonus kepada nasabah.
  • ·         Deposito Mudharabah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.

2)    Bagi hasil


  • ·       Al-Musyarakah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan.
  • ·       Al-Mudharabah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
  • ·      Al-Muzara'ah, adalah bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari hasil panen.
  • ·    Al-Musaqah, adalah bentuk lebih yang sederhana dari muzara'ah, di mana nasabah hanya bertanggung-jawab atas penyiramaan dan pemeliharaan, dan sebagai imbalannya nasabah berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.

3)    Jual beli


  • ·         Bai' Al-Murabahah, adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh: harga rumah 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
  • ·         Bai' As-Salam, Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Barang yang dibeli harus diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli berdasarkan keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu yang pendek (2-6 bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya padi, jagung, cabai) tidak dimaksudkan sebagai inventori, maka bank melakukan akad bai' as-salam kepada pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk, grosir). Contoh lain misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank, dan rekanan yang direkomendasikan penjual.
  • ·         Bai' Al-Istishna', merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga barang bisa dibayar saat kontrak, dibayar secara angsuran, atau dibayar di kemudian hari. Bank mengikat masing-masing kepada pembeli dan penjual secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana semua pihak diikat secara bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak yang mengadakan barang bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi tersebut.


4)    Sewa


  • ·         Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
  • ·         Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik sama dengan ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa, namun dimasa akhir sewa terjadi pemindahan kepemilikan atas barang sewa.


5)    Jasa


  • ·         Al-Wakalah adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad (perwakilan) yang sesuai dengan prinsip prinsip yang di terapkan dalam syariat islam.
  • ·         Al-Kafalah adalah memberikan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung, dengan kata lain mengalihkan tanggung jawab seorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai jaminan.
  • ·         Al-Hawalah adalah akad perpindahan dimana dalam prakteknya memindahkan hutang dari tanggungan orang yang berhutang menjadi tanggungan orang yang berkewajiban membayar hutang (contoh: lembaga pengambilalihan hutang).
  • ·         Ar-Rahn adalah suatu akad pada transaksi perbankan syariah, yang merupakan akad gadai yang sesuai dengan syariah.
  • ·         Al-Qardh adalah salah satu akad yang terdapat pada sistem perbankan syariah yang tidak lain adalah memberikan pinjaman baik berupa uang ataupun lainnya tanpa mengharapkan imbalan atau bunga ( riba ) . secara tidak langsung berniat untuk tolong menolong bukan komersial.

Dari penjelasan diatas, tentunya saya semakin paham mengenai berbagai produk yang ditawarkan di perbankan syariah. Karena alasan itu pula, sekarang saya sedang mencoba membuka sebuah rekening tabungan syariah di salah satu bank di Indonesia. Walau secara teori saya sudah begitu paham, sekarang tinggal saya praktekan teori tersebut. Semoga tulisan saya kali ini dapat menambah pengetahuan teman-teman sekalian. Silahkan tinggalkan komentar jika ada yang dirasa kurang.
Terima kasih!!! :)

Sumber            : http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah (13-02-13)